Hatimu duduk termangu dimakan sepi
Di atas bangku tua
Malam sebagai kaca suara angin tipu daya
Mendatangkan kekasih di kota jauh, mata berjalan menempuh hatimu lesu termangu kangen merindu.
Senja berganti baju malam
Berhias bintang-bintang dipolesi awan.
Di pipinya pagi segera datang tidak dengan seorang berbicara pada ketiadaan pada bangku tua menunggu kekasih pujaan.
Hatimu duduk termangu dimakan sepi diamuk api.
Kobaran janji pada palung kesetian yang dihibur pagi, membangunkan bunga cendana dan menenangkan gusar dalam hati.
Tidak mau berbicara bibirnya batu-batu yang kasar dan tajam, matanya merah padam, giginya meruncing bagai pedang siap membunuh, tetapi hatinya layu, lesu termangu di atas bangku tua hampir tutup usia.
Dia merobek masa lalu. Dicacah air darah dengan tujuh bunga rupa, dia baca mantra; tangan memetik bintang bintang dicampur garam di lautan, mantra dibaca
mantra:
Kekasih yang pulang cepat pulang, jangan pulang tetap pulang, aku kangen susumu yang panas di meja makan. Aku kangen kekasih tetap pulang, pulanglah, pulang. Kepalang nasib semalam tak mencium rembulan dalam dadamu. Kekasih aku kangen masakanmu yang kamu masak di atas ranjang. Pulang kekasih yang cepat pulang, pulanglah, pulang!
Sesampai pagi tua merenggut nyawa dia; hatimu duduk termangu di atas batu kebebalanmu, siang sebagai tanda cinta sudah tiada, cinta sudah tak menemukan jalan pulang atau pula ketemu penciptanya.
Kemenyan masih menyala di tungku hati yang lama mati. Di atas hati yang lama sepi. di atas abadi hati.
2018, Yogyakarta.
Komentar
Posting Komentar